Bursa Efek Indonesia (BEI) mentargetkan pertukaran karbon berkelanjutan pada kuartal III 2023. Implementasi pertukaran karbon dinilai mendesak mengingat implementasi perdagangan karbon di subsektor pembangkit listrik mulai aktif hari ini, Rabu (22/ 2).
Kepala Divisi Pengembangan Bisnis BEI Ignatius Denny Wicaksono mengatakan, pihaknya saat ini sedang mempelajari regulasi terkait pengembangan sistem pertukaran karbon.
“Pada kuartal ketiga, kami berharap mendapat izin dari OJK untuk mengadakan pertukaran karbon,” kata Ignatius saat menjadi pembicara dalam acara peluncuran Carbon Trading Subsektor Energi di Kementerian ESDM, Rabu (22/10). /2).
Perdagangan karbon diharapkan dapat meningkatkan transparansi, likuiditas dan efisiensi perdagangan karbon di Indonesia. Dalam paparannya, Ignatius memaparkan rencana penerapan bursa karbon di subsektor pembangkit listrik.
Ia berharap BEI dapat menerima pendaftaran bagi perusahaan yang ingin berpartisipasi dalam carbon exchange pada semester kedua atau paruh kedua tahun 2023. paruh kedua tahun 2023,” kata Ignatius.
Kementerian ESDM resmi meluncurkan mekanisme perdagangan karbon di sektor pembangkit energi mulai hari ini, Rabu (22/2). Mekanisme ini akan dioperasikan oleh 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik 42 perusahaan dengan total kapasitas terpasang 33.569 megawatt (MW).
Pelaksanaan perdagangan karbon tahun ini harus diterapkan pada pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang terhubung dengan jaringan listrik PLN dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW.
Berdasarkan roadmap perdagangan karbon subsektor pembangkit listrik yang telah disusun, implementasi perdagangan karbon berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca hingga lebih dari 36 juta ton CO2e pada tahun 2030.
Dirjen Ketenagalistrikan, Jisman Hutajulu mengatakan, sejauh ini ada potensi 500 ribu ton CO2e yang bisa diperdagangkan. Perhitungan ini dimulai dari selisih batas emisi untuk 99 PLTU yang ikut serta dalam perdagangan karbon.
Menurut catatan Ditjen Ketenagalistrikan, terdapat kuota 10,2 juta ton emisi dari gabungan beberapa PLTU yang sesuai aturan emisi yang boleh dikeluarkan setiap tahun.
Sementara di sisi lain, terdapat 9,7 juta ton emisi dari beberapa PLTU yang melebihi batas emisi yang ditetapkan. PLTU yang mengeluarkan gas rumah kaca di atas batas atas harus membeli sisa kuota emisi dari PLTU lain yang emisi tahunannya di bawah batas atas.
“Untuk yang diperdagangkan surplusnya sekitar 500 ribu ton CO2e,” ujar Jisman saat ditemui usai acara.
Selanjutnya, kisaran harga untuk perdagangan karbon ditentukan melalui mekanisme harga pasar sekitar US$ 2 hingga US$ 18 per ton CO2e. “Sekarang ditentukan dari harga pasar. Kalau mulai jalan bisa direvaluasi, untuk perdagangan internasional bisa US$ 2 sampai US$ 99 per ton CO2e,” ujar Jisman.
Pelaksanaan perdagangan karbon diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen) Nomor 14 Tahun 2023. Keputusan tersebut merupakan perpanjangan dari Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022 yang mengatur sejumlah dari aspek teknis. hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan perdagangan karbon di bidang pembangkitan energi, salah satunya adalah persetujuan teknis batas emisi gas rumah kaca pelaku usaha atau PTBAE-PU.
PTBAE-PU adalah penetapan persetujuan teknis batas atas atau kuota emisi gas rumah kaca bagi pelaku usaha pembangkit tenaga listrik dalam jangka waktu tertentu yang dinyatakan dalam ton karbondioksida.
Pelaksanaan PTBAE-PU akan dilakukan secara bertahap dalam tiga tahap. Tahap pertama yang berlangsung dari 2023 hingga 2024 hanya berlaku untuk pembangkit listrik tenaga batu bara. Kementerian ESDM menetapkan empat kelompok batas emisi pada tahap pertama pelaksanaan perdagangan karbon di sektor ketenagalistrikan.
Semakin besar kapasitas produksi listrik PLTU, yang berimplikasi pada semakin besar jumlah batu bara yang dibakar, semakin ketat pula batasan emisi yang ditetapkan. Kelompok PLTU non-mulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari 400 megawatt (MW) tunduk pada batas emisi paling ketat sebesar 0,911 ton CO2e.
Kemudian, untuk kelompok PLTU non-mulut tambang dengan kapasitas terpasang di kisaran 100 MW hingga 400 MW, ditetapkan batas emisi sebesar 1.011 ton CO2e per MWh.
Selanjutnya, PTBAE untuk pembangkit listrik mulut tambang di atas 100 MW ditetapkan sebesar 1.089 CO2e per MWh dan kuota emisi untuk pembangkit listrik non mulut tambang dan tambang dengan kapasitas terpasang 25 MW sampai dengan 100 MW adalah 1.297 ton CO2e per MWh.