Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan tidak bisa serta merta memberlakukan force delisting saham terhadap emiten yang sahamnya dibekukan lebih dari 24 bulan.
Otoritas bursa akan menunggu kemampuan perseroan untuk membeli kembali saham beredar (buyback) sebagaimana diatur Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika kewajiban ini tidak dipenuhi, BEI akan menerbitkan notasi khusus dan melarang emiten melakukan aksi korporasi.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan kebijakan buyback merupakan salah satu prinsip BEI untuk melindungi investor. Menurutnya, perusahaan perlu mencari jalan keluar agar dapat bertanggung jawab dan melaksanakan aturan yang telah ditetapkan.
“Ada pihak yang bertanggung jawab untuk melaksanakan (pembelian kembali), pihak itu bisa pemegang saham pengendali atau utama, yang ditunjuk untuk itu dan tetap berkewajiban sampai pelaksanaannya,” ujarnya saat ditemui di Gedung Bursa Efek Jakarta. , Selasa (18/4).
Peraturan ini tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 3/POJK tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal, emiten wajib membeli kembali saham yang beredar di masyarakat.
Nyoman mengatakan BEI akan memanggil pihak yang memiliki kewajiban untuk melakukan pembelian kembali saham tersebut. Jika kondisi tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, BEI akan memberikan kesempatan sampai perusahaan dapat melunasi kewajiban tersebut sesuai aturan.
“Kami akan memanggil para pihak untuk melaksanakan kewajiban ini dan memenuhi kewajibannya, jika tidak akan kami catat sebagai pihak dengan catatan khusus dan tidak akan kami berikan kepada mereka (untuk melakukan aksi korporasi),” katanya.
Adapun mengenai delisting saham dari BEI, aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Bursa No.: II tentang delisting dan re-listing saham di bursa.
BEI dapat melakukan delisting saham jika, pertama, emiten mengalami kondisi atau peristiwa yang secara signifikan mempengaruhi kelangsungan usaha perusahaan tercatat, baik secara finansial maupun hukum.
Selain itu, berdampak pada kelanjutan status emiten sebagai perusahaan publik, dan emiten tidak mampu menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang memadai.
Kedua, saham emiten akibat suspensi di pasar biasa dan pasar tunai baru diperdagangkan di pasar negosiasi sekurang-kurangnya 24 bulan terakhir.