Maskapai milik negara PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) berada di titik terendah akibat utang yang bombastis. Namun, manajemen mencoba menerapkan beberapa langkah untuk mengatasi masalah ini.
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) 2023, manajemen Garuda Indonesia menjelaskan bahwa perusahaan sedang dalam proses restrukturisasi yang cukup sulit. Hal ini sejalan dengan masalah utang perseroan yang mencapai US$ 10,1 miliar.
Namun, Direktur Utama GIAA Irfan Setiaputra mengungkapkan bahwa Garuda Indonesia kini telah melewati fase tersebut. Kini, perusahaan akan fokus menyelesaikan masalah yang ada satu per satu.
“Garuda sudah melewati fase yang sangat hebat, Alhamdulillah bisa lolos dari gugatan PKPU. Ini bukan hanya menyelesaikan utang tapi bagaimana menggunakan PKUP sebagai media untuk memperbaiki perusahaan secara fundamental,” kata Irfan dalam jumpa pers di RUPST GIAA, Jakarta, Selasa (30/5).
Irfan juga menambahkan, GIAA juga berada dalam situasi genting dimana perseroan belum memenuhi proposal utang kreditur dan hanya memiliki waktu sembilan bulan untuk mendapatkan persetujuan.
“Kami tidak punya waktu terlalu lama sembilan bulan untuk melakukan dan menyamakan persepsi lebih dari 800 kreditur. negosiasi terus tanpa mengetahui waktu yang memberikan kesepakatan dengan kreditur. Kami tentu melakukan pekerjaan kami sesuai dengan hukum yang berlaku,” kata Irfan.
Untuk memperbaiki kondisi dasar perusahaan, manajemen melakukan beberapa upaya, antara lain:
Mencoba menekan biaya sewa Melakukan solusi dengan beberapa aksi korporasi Mencoba menyelamatkan perusahaan dengan melaksanakan restrukturisasi utang utama Mengelola beberapa instrumen restrukturisasi, berupa penerbitan saham baru, penambahan modal atau rights issue, surat utang baru, dan utang klaim.
Segala upaya yang dilakukan Garuda Indonesia tercermin dari laba bersih yang dibukukan sepanjang tahun 2022.
Sebagai informasi, Garuda Indonesia membukukan laba bersih US$ 3,73 miliar atau setara Rp 55,9 triliun (asumsi kurs Rp 14.968,65/US$) sepanjang 2022. Pada tahun sebelumnya, perseroan membukukan rugi bersih US$ 4. 16 miliar atau sekitar Rp 62 triliun.
Dari sisi pendapatan, perusahaan berkode GIAA ini membukukan hasil usaha sebesar US$ 2,1 miliar. Jumlah tersebut meningkat 57% dari capaian tahun sebelumnya sebesar US$ 1,33 miliar.
Sepanjang tahun lalu, perseroan menerima dana restrukturisasi utang US$ 2,85 miliar, serta keuntungan restrukturisasi pembayaran US$ 1,38 miliar.
“Tahun lalu luar biasa kami memiliki fondasi yang kuat dan industri juga meningkat,” kata Irfan.